Selasa, 14 April 2009

Mari Selamatkan Alam Jakarta

  • Nama: Carlos T.H
  • XI IPS1/32 Kolese Gonzaga, Jakarta Indonesia

Ironis jika melihat P. Jawa saat ini, penuh sesak, kotor, dan tidak teratur. Yang lebih parahnya lagi adalah Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia terletak di sana. Ibu Kota Negara yang seharusnya tertata rapih untuk mencerminkan kepribadian bangsa terutama dengan prilaku moral dan tingkah laku keseharian penduduknya, ternyata malah menjadi penyebab akan terus menurunnya kualitas SDA di Pulau Jawa, khususnya Jabodetabek dan daerah sekitarnya

Jakarta sendiri sebetulnya sudah sangat tidak potensial lagi digunakan sebagai tempat hidup yang menjamin perkembangan manusianya ke arah yang baik. Udara, air, tanah, sudah tidak memadai, berbagai penyebab yang menjadikan masalah polusi saja sudah menjadi sangat komplek. Belum lagi kepadatan penduduk Jakarta yang mencapai 15.000 orang per Km2. Angkat tersebut sungguh mencerminkan bahwa Jakarta akan menyimpan banyak potensi masalah di masa depan. Itu baru di lihat dari prespektif SDA yang paling dasar, belum lagi kalau kita menengok masalah kemanusiaan lain seperti kriminalitas, atau masalah sampah yang saat ini menjadi isu yang cukup kita hiraukan.

Menurut data yang saya peroleh luas tanah di Jakarta telah melampaui kapasaitas atau daya dukungnya sejak tahun 1986. Faktor utama yang menyebabkan hal tersebut adalah penyatuan fungsi ibu kota negara, baik dari fungsinya sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi. Sehingga pertumbuhan perekonomiannya tidak merata, dan berakibat banyak orang yang bermigrasi secara geografis ke daerah yang lebih maju tersebut dan sialnya daerah tersebut adalah Jakarta. Perbandingan yang tidak seimbang antara bertumbuhnya sektor ekonomi dengan luas wilayah perumahan di Jakarta akhirnya membuat munculnya ekspansi wilayah-wilayah penyerapan air hujan, ekspansi sungai-sungai dan rawa-rawa serta hutan bakau yang membuat Jakarta menjadi daerah “pasang surut” yang semu. Hal ini terlihat saat hampir 70% wilayah Jakarta terendam banjir pada tahun 2007.

Hal lain yang cukup mempengaruhi adalah dari segi perencanaan kota Jakarta itu sendiri. Tidak ada konsep yang matang serta perencanaan kedepan yang jelas dari pembangunan Jakarta. Kita hanya menerima dari Belanda dan Jepang lalu sekedar membangun Jakarta agar terlihat indah dari luar namun tidak memperkirakan efek di masa yang akan datang. Terlebih setelah masa jabatan gubernur Ali Sadikin perencanaan kota Jakarta betul-betul kacau hingga puncaknya adalah pembangunan Busway yang sebetulnya tidak ada dalam perencanaan tata kota Jakarta yang di wariskan turun temurun setelah jabatan Ali Sadikin berakhir. Penyalahgunaan lahan potensial sering terjadi dan tak jarang juga lahan yang tidak potesnisal untuk di tinggali namun kenyataannya menjadi pemukiman di sana.

Banyak ahli sosiologi perkotaan, ahli tata kota, serta pakar geografi yang menilai bahwa rumitnya masalah Jakarta akan sangat sulit di pecahkan serta membutuhkan waktu yang sangat lama untuk membuat Jakarta menjadi kota metropolitan. Sedangkan Pulau Jawa tempat di mana Jakarta berada, saat ini dapat di gambarkan seperti bus yang kelebihan penumpang. Berjalan lambat, kelebihan beban dan menyimpan potensi masalah yang sangat besar.

Paulus Wirutomo, Yayat Supriatna, Herdianto Wahyu Kustiadi merupakan para pakar dari bidang tata kota dan lingkungan hidup serta geografi mengatakan dalam debatnya di Metro TV, Maret 2007. Bahwa mungkin satu-satunya cara menyelamatkan Jakarta dan Pulau Jawa pada umumnya adalah dengan memindahkan Ibukota dari Jakarta ke luar Pulau Jawa. Tentunya dengan perencanaan yang matang yang mendukung untuk kehidupan masyarakat yang layak dan tentunya teratur, sehingga dapat meminimalisir masalah-masalah yang akan muncul nantinya. Dan sebaiknya hal ini dilaksanakan secepatnya sebab mengingat bahwa tiap tahun-nya daratan di Jakarta turun sekitar 1,3 Cm.

Pemindahan ibu kota ini sebetulnya telah menjadi wacana dan rencana dari sejak pemerintahan Ir. Soekarno yang mulanya menunjuk Banjarmasin sebagai bakal ibukota sebab di lihat dari kondisi geografis yang mendukung pemerintahan serta berada di antara Indonesia bagian timur dan barat sehingga di harapkan pemerintahan akan seimbang dan lebih mudah membangun negara sebab tidak hanya terpusat di satu bagian saja. Sebagai pertimbangan Ir. Soekarno melihat Brazil yang memindahkan ibukota negara ke Brasilia dari sebelumnya di Rio De Janeiro. Namun karena saat itu kas negara sangatlah sedikit sehingga rencana itu di urungkan. Saat orde baru pun sempat di rencanakan pemindahan ibukota ke daerah jonggol, jawa barat. Namun ternyata setelah telah dilaksanakan pembebeasan lahan, lahan tersebut malah dipergunakan sebagai pemukiman elit Memang mebutuhkan dana yang besar untuk memindahkan ibukota namun untuk menyelamatkan negara kenapa tidak? Lagi pula sudah saatnya bagi bangsa ini untuk membangun sendiri kota perekonomian dan pemerintahannya sendiri dan bukan menerima kota warisan dari masa lampau. Dan dengan memindahkan ibukota ke wilayah di luar P. Jawa setidaknya kita juga telah berusaha untuk melestarikan dan menjaga SDA di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar